zainul

BBM

In Opini on Maret 29, 2012 at 8:33 pm

Berikut ini tanggapan saya, hasil memelototi tulisannya Pak Kwik Kian Gie dan Pak Anggito Abimanyu.

Pemerintah masih surplus dari hasil migas. Tapi, surplusnya berkurang dengan naiknya harga minyak di pasar internasional. Kwik Kian Gie tidak menyinggung ini, meskipun implisit di tabel yang ia buat. Surplus pemerintah berasal dari penjualan minyak “milik” rakyat kepada rakyat dengan harga fix. Tapi, Pertamina juga perlu membeli 25,2 milyar liter (menurut tabelnya Kwik Kian Gie) dari pasar internasional, lalu menjual rugi ke rakyat dengan harga fix.

Berkurangnya surplus hasil migas inilah masalahnya. Pengeluaran pemerintah, untuk gaji pegawai negeri, korupsi pejabat dan lain lain, disusun dengan asumsi penerimaan migas sekian-sekian. Tapi, penerimaan migas ternyata lebih kecil dari harapan karena naiknya harga minyak dunia, akibatnya APBN makin defisit.

We should live within our means. Untuk menghindari defisit anggaran ada dua cara: meningkatkan pemasukan atau menurunkan pengeluaran. Kalau di Amerika,  untuk menyeimbangkan anggaran, politisi partai Republik menyuarakan: cut government spending, sementara politisi partai Demokrat menyuarakan: raise taxes on the rich. Kalau di Indonesia, mahasiswa teriak-teriak: tolak kenaikan harga BBM. Selain teriak-teriak, oknum mahasiswa juga merusak-rusak dan membakar-bakar. Trus, bagaimana dengan defisit? Masih ada cara lain katanya. They are acting like thugs, talking like politicians.

Pemerintah yang mengurusi banyak hal, wajar punya pengeluaran besar. Kadang-kadang malah pemerintah kita mengurusi hal-hal yang tidak perlu mereka urus, tapi justru tidak mengurusi hal-hal yang perlu mereka urus.

Pemerintah dapat mengurangi membengkaknya pengeluaran dengan menghentikan pengangkatan pegawai negeri baru atau bahkan memecat pegawai negeri yang tidak berguna. Tapi ini berdampak buruk pada perekonomian. Bertambahnya jumlah penduduk membutuhkan tambahan lapangan pekerjaan. Pihak swasta saja belum tentu siap menyerap potensi sumberdaya manusia tersebut. Adapun para penganggur punya duit pas-pasan, pengeluarannya juga pas-pasan. Sementara itu perusahaan penyedia barang dan jasa butuh pembeli.  Untuk mengatasi kurangnya pembeli, perusahaan tersebut akan mengurangi jumlah tenaga kerja. Makin bertambahlah jumlah pengangguran.

Bahkan penghentian “subsidi” kepada koruptor (yang terkutuk) juga punya dampak buruk bagi perekonomian. Namanya, Trickle-down economy. Koruptor berduit membelanjakan sebagian duitnya (duit rakyat). Duit tersebut “mengalir” ke penyedia barang dan jasa, termasuk sebagai gaji bagi pegawai-pegawainya yang selanjutnya mereka gunakan untuk membeli barang dan jasa dan seterusnya.

Dari penjelasan (atau penyesatan?) di atas jelas bahwa menurunkan pengeluaran pemerintah  berdampak buruk bagi perekonomian. Bagaimana dengan menaikkan penerimaan pemerintah? Misalnya dengan menaikkan pajak atau menaikkan harga BBM. Tentu saja juga buruk. Naiknya pajak atau BBM mengurangi duit di dompet rakyat. Rakyat berusaha mengetatkan ikat pinggang dengan mengurangi pembelian yang selanjutnya berdampak buruk bagi perusahaan penyedia barang dan jasa. Selain itu naiknya biaya produksi memaksa penyedia barang dan jasa menaikkan harga. Efek kombo, biaya produksi naik sementara pembeli berkurang memaksa mereka mengurangi jumlah tenaga kerja. Bertambah lagi pengangguran.

Penyaluran uang tunai langsung ke rakyat miskin mungkin bisa sedikit menolong dalam masa transisi penyesuaian kondisi perekonomian terhadap harga baru BBM. Rakyat miskin lebih cenderung segera membelanjakannya, ini bisa sedikit membantu perekonomian.

Upaya mengurangi defisit APBN yang disebutkan di atas dalam jangka pendek berdampak buruk bagi perekonomian. Bahwa pemerintah tetap nekad menaikkan harga BBM menunjukkan bahwa pemerintah cukup pede dengan kondisi perekonomian di tanah air. Dalam kondisi ekonomi yang buruk, upaya mengurangi defisit APBN bukan ide yang baik. Pemerintah bisa saja membiarkan defisit membengkak, menunggu sampai kondisi ekonomi lebih baik lagi, begitu juga kondisi politik. Tapi menjelang pemilu 2014, tidak akan ada partai yang punya nyali menaikkan harga BBM.

Idealnya sih kita punya pemerintahan yang efisien, kecil (pengeluarannya), tapi mampu mengurusi hal-hal yang memang perlu mereka urus.

—————————————–

(Serius, ini tidak serius. Awalnya saya cuma berencana menulis tiga paragraf awal di atas, tapi malah ngalur-ngidul sok pengamat gak jelas. Tidak ada kaitannya dengan fisika pula. But, this is my blog.)

  1. http://en.wikipedia.org/wiki/Gasoline_and_diesel_usage_and_pricing
    US gas price is kinda low…
    P.S. Glad to see some economic posts. Expecting more in the near future. 🙂

  2. Yang bikin ga enak itu, harga BBM belum naik aja harga barang-barang sudah naik. Nah kalau misalnya ga jadi dinaikkan sekarang, trus suatu saat (pasti naik) harga-harga bakal (lebih) naik lagi. Jadi Naiknya 2 kali. Sama aja kan??
    *ini juga entah serius atau ga yang penting ninggalin jejak dulu* :mrgreen:

Tinggalkan komentar